Sebagai warga negara Indonesia yang kunon katanya "ramah-ramah" sedikit banyak sifat-sifat masyarakatnya sudah kita kenal. Ada yang baik adapula yang kurang baik, salah satu yang kurang baik adalah suka mengkritik tapi kebanyakan untuk menjatuhkan bukan bertujuan membangun. Memang mengkritik tidak ada larangan selama dalam batas-batas yang wajar dan lebih bermanfaat jika kritik yang dilontarkan adalah kritik yang bersifat membangun bukan untuk menjatuhkan atau memojokan.
Dalam dunia peranggrekan trutama anggrek spesies permasalahan yang kerap menjadi sorotan adalah hilangnya hutan yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau areal pertambangan yang dianggap sebagai salah satu penyebab langka dan musnahya beberapa spesies anggrek alam. Selain hilangnya Hutan, perburuan terhadap anggrek oleh pihak-pihak yang mengindahkan kelestarian anggrek itu sendiri juga banyak menuai kritikan pedas terutama dalam hal ini pemerintah dan pedagang anggrek alam.
Kenyataannya dua hal diatas adalah sebuah fenomena yang sulit untuk di cegah, tekanan-tekanan terhadap habitat anggrek terus terjadi begitupula perburuan terhadap anggrek, siapa yang harus disalahkan?. Pemerintah, Pedagang, Pemburu anggrek?. Pertanyaan ini mungkin bisa di jawab, namun seharusnya kita bisa lebih berpikir realistis. Apakah dengan menemukan siapa yang harus disalahkan maka permasalahan itu akan dapat diselesaikan? Atau dengan memberikan kritik dan hujatan, maka anggrek-anggrek dihabitatnya dapat aman?.
Semua kembali kepada diri kita masing-masing, apakah kita hanya bisa menjadi seorang kritikus handal tetapi 'kosong', atau kritikus yang sekaligus memberi solusi dan turut serta dalam merealisasikannya. Marilah kita kembali pada sebuah kata bijak (dengan sedikit pengeditan)" Jangan tanyakan apa yang sudah pemerintah lakukan untuk menyelamatkan anggrek spesies kita, tapi tanyakan apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga dan melestarikan anggrek tersebut bagi Indonesia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar